Nelayan Tradisional di Sergai Sedang Kesulitan Memenuhi Kebutuhan Hidup

by

GEOSIAR.COM, SERGAI,- Sejumlah nelayan di Kabupaten Serdangbedagai (Sergai) menderita. Mereka hidup dengan ekonomi yang serba pas-pasan. Tak jarang para nelayan tradisional berhutang demi mencukupi kehidupan harian.

Pada 6 April diperingati sebagai hari nelayan. Peringatan itu sebagai penghargaan bagi nelayan. Sebagai negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang luas, masih banyak masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidup dari sektor kelautan dan perikanan.

Namun bagi Ali, Syahrul dan M Ridwan warga Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Sergai, bekerja sebagai nelayan tradisional sejak puluhan tahun penuh kesengsaraan.

Ketiganya nelayan tradisional yang ditemui, Jumat (7/4/2023) punya jawaban yang sama, nelayan tradisional sangat kesulitan untuk memenuhi hidupnya.

Meski begitu, mereka tak punya pilihan lain, jika tak melaut, justru tak ada uang yang bisa dibawa ke rumah untuk keluarga.

Ridwan salah seorang nelayan mengatakan, salah satu hal yang membuat nelayan kesulitan setiap hari adalah soal BBM bersubsidi.

“Kalau ku bilang jadi nelayan sekarang hajab kali. Kita kerja belum tentu ada hasil, kalau tak kerja anak binik mau makan apa. Apalagi sekarang harga BBM naik, karena kita tak bisa isi di SBPN dan SPBU,” kata Ridwan.

Setiap melaut, para nelayan sedikitnya menghabiskan 50 liter solar. Sebenarnya jika menggunakan BBM bersubsidi kata Ridwan nelayan dapat mengirit pengeluaran.

“Masalahnya kita susah kali isi BBM di SPBU dan SPBN, katanya harus ada surat nelayan, kemarin sudah ada cuman disuruh urus lagi karena sudah tak laku. Kita pening, mau isi BBM saja sulit jadi mau tak kita beli ketengan. Kalau di subsidi Rp 7 ribu, kalau belik eceran sudah Rp 9 sampai Rp 10 ribu, uda gitu lebih sikit lagi kita dapat,” ujarnya.

Di Kecamatan Tanjung Beringin sebenarnya terdapat dua Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan yakni di Dungun dan Teluk Bayu.

Namun sebut Ridwan SPBN itu jarang buka, bahkan dia tak pernah lagi mengantri minyak di sana.

Hal sama juga disampaikan Ali, nelayan lainya. Ayah dua orang anak itu menyebutkan, persoalan BBM subsidi sudah dirasakan sejak lama. Namun sampai saat ini pemerintah tak pernah turun tangan.

Ali menyebutkan, persoalan BBM subsidi tidak dinikmati oleh nelayan kecil sepertinya melain pihak pihak tertentu.

“Kita kalau nelayan mau isi pakai jerigen ke SBPU dan SPBN sangat sulit. Padahal kita hanya beli seperlunya. Tapi kami sering liat orang orang lain beli pakai becak berjerigen jerigen dikasih, makanya sejak itu kita milih pakai BBM eceran meski mahal dari pada tidak melaut, kan susah,” ujar Ali.

Ali menyebutkan, para nelayan bukan tidak bersedia mengurus kartun nelayan, hanya saja mereka tidak paham mekanisme dan aturan soal kepengurusannya.

Menurut para nelayan sejauh ini baik pemerintah pusat dan daerah jarang memberikan sosialisasi kepada nelayan mengenai hal itu.

“Kita mau urus, jika memang mengerti, nanti kita sudah ada kartu nelayan katanya sudah tak berlaku. Karena nelayan seperti kami ini pergi ke laut siang, pulang subuh, jadi kadang kita tak pernah dapat informasi di darat, tidak tau bagaimana urus ini itu,” ujar Ali.

Masalah BBM subsidi juga disampaikan oleh para nelayan yang ada di Kecamatan Teluk Mengkudu. Bahkan nelayan di sana sudah hampir dua pekan tidak melaut karena hal itu.

Masalah BBM subsidi ini yang turut membuat penghasilan nelayan tradisional khsusus di Serdang Bedagai berkurang. Dilain hal, meski melaut tak jarang para nelayan tidak membawa pulang tangkapan.

“Seperti saat ini kami sudah empat hari tidak melaut karena angin kencang. Ya selama empat hari tak dapat apa apa. Kadang kita ke laut juga tidak ada hasil, untuk pulang modan isi BBM dan makan di laut saja tidak balik,” kata Syahrul nelayan lainya.

Syahrul yang sudah lebih dari 20 tahun jadi nelayan berkeluh, selain BBM harga ikan yang tak menentu membuat mereka kerap rugi.

Sementara pemerintah tak pernah memberi bantuan seperti jaring atau alat tangkap kepada nelayan. Karena kondisi tersebut nelayan tradisional banyak hidup dalam garis kemiskinan.

“Kalau pas dapat ikan pasti modal tak balik, juga kalau ikan lagi banyak, harga jatuh, kita nelayan tak juga rugi. Makanya kami nelayan ini sudah binggung mau ngadu ke mana,” kata Syahrul. (LS)