Jakarta-GeoSiar.com, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik akan melakukan pengawasan terhadap praktik-praktik ujaran kebencian dan intoleransi dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2018.
Rencananya, menurut Ahmad, Komnas HAM akan memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa pesta demokrasi berbasis HAM.
Komnas HAM akan fokus untuk melakukan pengawasan pada praktik-praktik ujaran kebencian dan intoleransi yang mungkin timbul di dalam masyarakat.
“Komnas HAM berharap, para peserta pilkada tidak melakukan hal itu demi merebut perhatian calon pemilih,” tutur Ahmad.
Komnas HAM juga memberikan usulan indikator HAM yang dijadikan sebagai suatu acuan bagi KPU dan Bawaslu.
“Di situ kita akan secara detail (menyampaikan) tentang konsep HAM yang akan kita masukan dalam indikantor pemantauan,” tutur Ahmad.
Praktik SARA pada Pilkada Serentak 2018 akan diantisipasi dengan memberikan himbauan pada masyarakat.
“Tapi ada kecenderungan isu primodial, keagamaan, di dalam memobilisasi opini masyarakat. Ini tidak sehat untuk demokrasi kita,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Ahmad juga mengingatkan agar hak politik kelompok marginal dan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas dalam melakukan pemilihan dapat diperhatikan oleh penyelenggara Pemilu 2018.
Hal ini beranjak dari kurangnya penggunaan hak pilih bagi penyandang disabilitas.
“Tapi kemarin dalam coklit (pencocokan dan penelitian) itu sudah ada komitmen KPU dan Bawaslu untuk betul-betul mendata semua (kelompok marginal dan rentan) tanpa ada pengecualian lagi,” katanya.
Pihaknya juga berkomitmen untuk memantau agar hak politik kelompok marginal dan rentan tetap terakomodasi.
“Komnas akan tetap memantau apakah ada kelompok tertentu yang nanti tidak memiliki akses yang sama dengan orang lain, karena situasi dan kondisi dari dirinya,” tandas Ahmad.
Sementara itu, Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengingatkan agar pada tahun politik ini masyarakat lebih selektif dan cerdas dalam menerima informasi yang seliweran di media sosial.
“Memang bahaya sekali kalau info hoax diperbanyak untuk memotivasi yang negatif. Persatuan di masyarakat kita bisa terpecah belah, apalagi menjelang Pilkada,” ujarnya.
Menurut Siti, berdasarkan kondisi nyata di dalam masyarakat, semangat masyarakat Indonesia yang dalam menjunjung nilai sila kedua kian beranjak pudar.
“Dimensi sila kedua itu sudah tidak lekat dengan kita, jadi nilai-nilai yang ada di sila kedua ini sudah sama sekali tidak melekat lagi di masyarakat,” terangnya.
Bagaimana tidak, menurutnya para pengguna media sosial banyak yang menggunakan nama palsu untuk menyebarkan hoax.
“Dalam konteks Indonesia saya berulang kali mengatakan bahwa kita butuh suri teladan baik itu pemimpin kita di birokrasi, di politik, di dunia usaha, para tokoh yang ditokohkan itu, orang yang disohori yang betul-betul tersohor, nah itu tidak muncul,” pungkas Siti. (rml/r1)