Medan-GeoSiar.com Berbicara mengenai nasionalisme secara kasat mata di daerah Sumatera Utara tampaknya masih menjunjung semangat kebhinekaan. Namun, jika ditelaah lebih jauh dan ditilik lebih dalam, kebhinnekaan justru kian beranjak luntur dan semakin tercabik-cabik oleh masyarakat itu sendiri.
Sumatera Utara yang didiami oleh masyarakat heterogen awalnya mampu menghidupi semangat nasional yang menekankan pada semangat persaudaraan. Hidup berdampingan satu dengan yang lainnya tanpa menonjolkan perbedaan merupakan pemandangan yang asri di sebelah Utara Sumatera.
Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat justru mulai dicekokin informasi hoaks yang mengarah pada perpecahan dan pertikaian. Tatanan rukun dan harmonis perlahan di guncang lewat benturan isu ringan yang berusaha mengubah paham tertentu.
Pengangkatan isu Karo bukan batak hingga Mandailing bukan batak merupakan suatu hal ringan yang seakan-akan mampu meresap perlahan dalam diri masyarakat.
Mirisnya, walaupun tak diketahui sumber asli isu tersebut, masih ada saja pihak yang dengan mudah terprovokasi untuk melakukan pengotak-ngotakan. Bahkan ada yang mengkonsumsinya secara keseluruhan tanpa berusaha mencari kebenaran dari informasi yang ada.
Bak mencari harta karun, masyarakat justru diarahkan untuk berlomba mencari perbedaan yang ada antara satu dengan yang lainnya demi merenganggkan hubungan yang sudah terjalin akrab sejak lama.
Upaya ini tentu sangat bertolak belakang dengan semangat nasionalisme yang seharusnya dibangun dalam tatanan hidup bersama.
Walaupun isu ini pada awalnya tak masuk akal, namun lama kelamaan pihak yang setuju dengan pernyataan tersebut semakin besar jumlahnya.
Lingkaran merah semakin melebar seolah lingkaran setan yang memiliki kekuatan mengungkung siapa saja yang sempat masuk di dalamnya.
Luka lama belum kering, luka baru datang lagi, begitupun juga dengan isu negatif yang beredar. Belum reda dengan isu suku, pembingkaian sedemikian rupa terhadap isu agama kembali dibenturkan dalam masyarakat.
Isu politik agama mulai dipampangkan secara besar-besaran untuk mengarahkan masyarakat memilih calon Gubernur yang seagama.
Hal tersebut tampak dari fenomena partai pendukung salah satu pasangan Calon Gubernur Sumut yang bukan merupakan pemeluk suatu agama tertentu. Partai tersebut diminta oleh partai pengusung lainnya untuk menandatangani kontrak politik yang berisikan jaminan kepada umat yang beragama tertentu untuk dijamin kesejahteraannya pada saat pasangan tersebut menang dalam Pilkada 2018.
Tak berhenti pada isu suku dan agama saja, pada bulan Desember 2017 lalu, terjadi bentrok antar pengguna transportasi online dengan supir Angkutan Kota (Angkot) konvensional karena adanya isu ekonomi.
Kecemburuan sosial yang berlandaskan ekonomi menjadi pemicu aksi mogok yang dilakukan oleh supir Angkot di seluruh daerah kota Medan selama satu hari penuh. Tak sekedar melakukan aksi mogok, sebagian besar supir angkot melakukan sweeping bagi para pengendara transportasi online dan melakukan tindakan kekerasan.
Tentu banyak pihak yang dirugikan melalui aksi tersebut.
Sipelaku (supir angkot) yang mogok kerja tentu berkurang pendapatannya dalam sehari, para pengguna setia angkot khususnya anak sekolahan luntang lantung tak karuan karena akses untuk mencapai lokasi tujuan terhalang. Tak hanya itu, para polisi mendapatkan tugas tambahan untuk mengamankan lokasi dan menggantikan peran angkot untuk mengantarkan anak-anak sekolahan dan juga masyarakat si pengguna setia angkot.
Berdasarkan fenomena yang terjadi dan telah dipaparkan diatas, maka nasionalisme belum berperan sebagai lidah rakyat, melainkan masih ditunggangi kepentingan pihak tertentu dan golongan. (cw1)