Jakarta-Geosiar.com, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluarkan catatan akhir tahun 2017 tentang pemberantasan korupsi di Indonesia. ICW menyebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai salah satu penghambat pemberantasan korupsi. Adanya Panitia Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu buktinya.
Menurut anggota Divisi Korupsi Politik ICW, Almas Sjafrina, pengesahan Panitia Angket KPK juga tak terlepas dari peran Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dua partai politik besar di parlemen yang sekaligus sebagai partai pendukung pemerintah.
Pembentukan Panitia Angket untuk menyelidiki KPK itu merupakan reaksi DPR atas penanganan perkara korupsi dalam proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP. Kasus korupsi tersebut merupakan salah satu kasus terbesar yang diungkap KPK di tahun ini.
Kasus yang merugikan negara sebanyak 2,3 triliun tersbut juga menyeret sejumlah politikus, termasuk bekas Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua DPR Setya Novanto.
“DPR mengintervensi penanganan kasus dengan menggunakan haknya untuk menyelidiki KPK,” kata Almas.
Sementara Wakil Koordinator ICW, Ade Irawan, menambahkan, DPR kini merupakan rantai paling atas penyebab munculnya korupsi. Sebab, program-program yang dikerjakan pemerintah berasal dari keputusan legislatif. “Birokrat hanya eksekutor,” kata Ade.
Menurut Ade, Budaya pemberantasan korupsi juga mesti dilakukan di tubuh partai-partai politik. Setiap partai politik mesti lebih transparan dalam hal pengelolaan dana. Salah satu caranya adalah memperbesar saham negara di partai politik.
Selama ini, pencatatan keuangan sebagian partai dinilai tak transparan, sehingga tak terkontrol dari mana sumbernya. Parpol beranggapan dana yang tak bersumber dari negara tak perlu dipertanggungjawabkan.
Tak adanya transparansi keuangan membuat partai rawan dibajak orang berduit. Apalagi banyak n legislator dan kepala daerah yang diusung karena memberi sumbangan yang besar kepada partai. “Buntutnya, ketika terpilih, dia akan mencari modal untuk survive di partai dan agar dinominasikan lagi,” katanya. Akibatnya, hal itu menjadi lingkaran korupsi yang saling terhubung tanpa henti. Meski begitu, Ade berpendapat penambahan dana partai politik saja tak cukup. Hal tersebut mesti diiringi dengan pembenahan internal partai.
Selain itu, menurut kajian ICW, politikus menduduki peringkat ketiga terbanyak yang tertangkap KPK. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan ada lebih dari 20 anggota DPR ataupun DPRD yang masuk bui lantaran korupsi. “KPK sangat berharap tahun politik ke depan dijalankan dengan lebih meminimalkan korupsi atau praktik-praktik transaksional,” ujarnya.
Sementara Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tak menggubris kritik ICW. “Mereka tidak mengerti pentingnya DPR, malah menganggap DPR masalah. Itu aneh,” katanya. (Tpo/R2)