Maluku-GeoSiar.com, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriani bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Maromoi, Maluku Utara menyelidiki kasus kematian La Gode yang ditemukan tewas pada Jumat (24/10/2017) lalu sekitar pukul 04.30 WIT.
La Gode diduga menjadi korban penyiksaan tentara karena disekujur tubuhnya penuh luka dengan kedelapan giginya hilang. Tak cukup sampai disitu, kuku kakinya juga tercerabut dari kakinya.
La Gode sebelumnya dituduh mencuri singkong parut dan ditemukan tewas di markas tentara tanpa menjalani proses peradilan.
“Kami menduga kuat Gode adalah korban penyiksaan hingga tewas oleh tentara,” ujar Yati Andriani pada Selasa (28/11/2017).
Berdasarkan hasil investigasi Kontras dan LBH Maromoi, pria asal Pulau Taliabu, Maluku Utara, tersebut awalnya dituduh mencuri singkong parut (gepe) seharga Rp 25.000 milik seorang warga bernama Egi pada awal Oktober 2017.
Berdasarkan laporan pencurian tersebuta, petugas kemudian menangkap dan melakukan penggeledahan terhadap Gode. Petugas juga menahan Gode selama lima hari di Pos Satuan Tugas Operasi Pengamanan Daerah Rawan Batalyon Infanteri Raider Khusus 732 Banau.
“Penggeledahan, penangkapan, dan penahanan oleh anggota pospol tidak sesuai prosedur. Semua tindakan yang dilakukan aparat tanpa disertai surat-surat resmi dari polisi. Penahanan selama lima hari di pos satgas TNI juga tidak disertai status hukum yang jelas,” tutur Yati.
Pada hari kelima ditahan tanpa menandatangani suatu surat apa pun, Gode melarikan diri dan berusaha menemui istrinya, YN.
Dalam pertemuan singkat tersebut, Gode menceritakan secara detail penyiksaan yang dilakukan aparat terhadapnya selama dalam tahanan kepada YN.
Gode mengaku mendapatkan tindak kekerasan semena-mena yang dilakukan anggota pos satgas disekujur tubuhnya sehingga Gode merasakan sakit yang luar biasa pada bagian rusuk dan punggungnya.
Gode melarikan diri karena tak kuat menerima siksaan tersebut.
Tak lama setelah itu, YN mendapat kabar tentang tewasnya Gode pada Selasa (24/10/2017) di tangan anggota pos satgas.
YN tak menyangka pertemuan dengan suaminya merupakan pertemuannya yang terakhir.
Kondisi jenazah Gode saat dibawa menuju puskesmas untuk dilakukan visum sangat mengenaskan.
“Hal ini membuktikan bahwa kematian La Gode bukan berada di dalam lingkungan masyarakat akibat adanya pengeroyokan massa,” tutur Yati.
Yati mengatakan, pasca tewasnya Gode, petugas memberikan surat yang berisi tanda tangan warga. Namun, menurut Yati surat tersebut tak dapat menjelaskan bahwa Gode dikeroyok massa hingga tewas.
Surat tersebut hanya berisi persetujuan warga terhadap keberadaan pos satgas yang tetap berada di daerah itu. Surat tersebut menurut Yati tak memiliki hubungan apapun dengan kematian Gode yang mengenaskan.
Belum lagi pengakuan dari Yn, istri Gode yang menuturkan bahwa anggota pos satgas menahannya untuk melapor ke polisi atas kematian Gode suaminya.
Anggota pos satgas justru memberikan uang kerahiman sebesar Rp 1,4 juta per bulan kepada YN dan berjanji memberikan uang dengan jumlah tersebut selama sembilan bulan ke depan.
“Namun, atas pendampingan kami, YN sudah melapor atas tewasnya suaminya pada 20 November 2017 ke Polda Maluku Utara. Surat (laporan) nomor LP/30/XI/2017. YN juga sudah melapor ke Propam Polda Maluku Utara dengan surat nomor STPL/29/XI/2017/Yanduan,” ujar Yati.
Setelah YN membuat aduan tersebut, rumahnya disambangi oleh beberapa anggota pos satgas. Mereka menanyakan keberadaan YN yang kebetulan tidak ada di rumah.
“Terhadap fakta–fakta di atas, kami menganalisis, dalam kasus kematian La Gode terdapat pola–pola yang dipakai anggota pos satgas dan anggota pospol membelokkan fakta peristiwa yang sesungguhnya terjadi. La Gode sebenarnya menjadi korban dalam kasus ini dengan dicari–cari kesalahannya. La Gode dianggap melakukan tindak pidana sehingga pantas disiksa hingga tewas,” ujar Yati.
Sehubungan dengan kasus tersebut, Yati sangat menyayangkan tak berjalannya proses hukum sesuai dengan yang diharapkan. Terlebih dalam kasus ini sampai menewaskan jiwa seseorang.Namun walaupun demikian, Yati optimis untuk tetap mencari kebenaran hukum atas kasus penganiayaan La Gode.
“Kami juga menyesalkan bahwa tidak berjalannya proses hukum sebagaimana yang diatur di dalam undang-undang akan berdampak pada tindak kesewenang-wenangan aparat penegak hukum di daerah-daerah terpencil seperti ini,” pungkasnya. (trbmdn/r1)