Jakarta-GeoSiar.com, Setya Novanto, Ketua DPR RI periode 2014—2019, kembali menyandang status sebagai tersangka mulai Jumat 10 November 2017.
Penetapan Novanto menjadi tersangka merupakan kali keduanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam penetapan sebagai tersangka, KPK memperkarakan Ketua DPR RI tersebut dalam kasus megakorupsi e-KTP.
“SN selaku anggota DPR RI periode 2009-2014, bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus, Irman, dan Sugiharto, diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi,” ucap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (10/11/2017)
Berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Setya Novanto pada 31 Oktober 2017 KPK. Setya Novanto diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun, dari nilai proyek e-KTP yang jumlahnya Rp 5,9 triliun.
Sebelumnya, upaya pertama KPK untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka, dianulir hakim tunggal Cepi Iskandar, dalam sidang praperadilan pada 29 September 2017.
Saat itu, hakim memutuskan, KPK tidak bisa menggunakan bukti-bukti terkait tersangka sebelumnya untuk menjerat Novanto.
Alasannya, karena penetapan tersangka tidak didasarkan pada prosedur dan tata cara ketentuan perundang-undangan tentang KPK, KUHAP, serta standar operasional dan prosedur KPK.
Kali ini KPK yakin Setya Novanto tak akan lolos dari jerat hukum karena KPK punya amunisi melalui strategi baru pun dilakukan, dengan cara mengulang proses penyelidikan terhadap Setya Novanto.
“Ada bukti-bukti baru yang juga kita dapatkan, sehingga syarat bukti permulaan yang cukup itu sudah terpenuhi,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (10/11/2017).
KPK meyakini, bahwa bukti kali ini tak akan mampu di sanggah oleh Novanto. Lembaga antirasuah itu juga telah mempelajari putusan praperadilan Hakim Cepi yang memenangkan kubu politisi Golkar tersebut.
Penyidik KPK, lanjut dia, sudah memeriksa beberapa saksi. Saksi-saksi tersebut dari unsur anggota DPR, kementerian, dan pihak swasta.
“Nanti kami sampaikan lebih lanjut update-nya secara lebih rinci. Saat ini kami masih membutuhkan beberapa kegiatan dalam proses penyidikan, sehingga kita belum bisa bicara hal-hal yang sifatnya teknis,” tutup Febri. (lpt6/r1)